MATEMATIKA DAN MASALAHNYA SERTA PROBLEM-BASED LEARNING

MATEMATIKA DAN MASALAHNYA SERTA PROBLEM-BASED LEARNING

Matematika merupakan ilmu dasar yang menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Oleh karena itu penguasaan terhadap matematika mutlak diperlukan dan konsep-konsep harus dipahami dengan benar sejak dini. Hal ini dikarenakan konsep-konsep dalam matematika merupakan suatu rangkaian sebab akibat. Dimana suatu konsep disusun berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, dan akan menjadi dasar bagi konsep selanjutnya. Dengan demikian pemahaman konsep yang salah akan berakibat pada kesalahan terhadap pemahaman konsep selanjutnya (Cahya Prihandoko, 2006).

Matematika sekolah terdiri atas bagian-bagian yang dipilih untuk menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi siswa serta berpadu pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Sejalan dengan itu, mata pelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar menekankan pada pembentukan nalar/logika, sikap, dan keterampilan yang terkandung dalam setiap pembelajaran matematika.

Disamping itu, matematika memberikan kontribusi positif tercapainya masyarakat yang cerdas dan bermartabat melalui sikap kritis dan berpikir logis (Suminarsih, 2007:1). Berdasarkan hal tersebut maka matematika dipilih menjadi salah satu mata pelajaran yang diberikan di ketiga tingkat pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan dasar (Sekolah Dasar/SD dan Sekolah Menengah Pertama/SMP), dan pendidikan menengah (Sekolah Menengah Atas/SMA). Menurut Depdikbud yang dikutip oleh Suharno (2004), matematika yang diberikan di pendidikan tingkat dasar sampai tingkat menengah disebut juga dengan matematika sekolah.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka pembelajaran matematika yang benar oleh seorang guru sangat diperlukan dalam menanamkan konsep-konsep matematika di Sekolah Dasar. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar yang tertulis dalam Badan Standart Nasional Pendidikan 2006 yaitu untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika. Terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir yang selalu dipupuk akan membentuk kemampuan siswa untuk berpikir lebih kritis.

          Tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan, aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak sesuai dengan tujuan di atas. Materi yang disampaikan hanya berupa informasi yang lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin dalam buku catatan. Sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi soal latihan yang sifatnya rutin dan kurang melatih daya nalar/logika siswa untuk berlatih untuk untuk aktif mencari dan menyelesaikan persoalan dalam pembelajaran.

 Hal ini disebabkan oleh tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target. Artinya, semua bahan harus selesai diajarkan dan bukan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika yang diutamakan. Akhirnya terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur, pemahaman konsep matematika rendah, dan tidak dapat menggunakannya jika diberi permasalahan yang kompleks dengan tingkat pemahaman dan logika berpikir yang lebih tinggi. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku dan terjadilah pembelajaran mekanistik. Akibatnya, pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi.

Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian. Anak belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur, dan sebagainya. Namun ketika waktu ujian berlangsung, anak seperti menghadapi kertas buram. Anak tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya untuk menjawab pertanyaan.

Menurut Mukhayat (2004), belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Anak akan cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar. Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya tanpa berpikir dari mana mendapatkannya. Hal ini mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk berpikir kritis, bagaimana mencari bahkan menyelesaikan persoalan dalam pelajaran secara tepat, teliti, dan teratur sesuai dengan aturan logika yang sesuai dengan pemikiran atau realitas. Siswa tidak dibiasakan untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi. Mereka tidak dibiasakan belajar dengan mencoba menjawab mengapa, apa, dan bagaimana sesuatu itu bisa terjadi dan bisa didapatkan. Kebiasaan inilah yang membuat siswa mempunyai daya nalar yang rendah dan logika matematika yang sangat rendah.  

Keadaan inilah yang membentuk pemahaman siswa bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sangat sulit, membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Kemampuan berpikir siswa sangat rendah sehingga mereka akan mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal dalam bentuk soal cerita. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Hasil empiris di atas jelas merupakan suatu permasalahan yang merupakan faktor penting dalam mewujudkan tujuan pembelajaran matematika sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan matematika.

Disamping itu guru matematika yang ada belum bisa menciptakan situasi belajar yang melibatkan siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran, belum memanfaatkan kejadian di sekitar siswa yang berhubungan dengan matematika sebagai media dalam pembelajaran. Mereka jarang diajak untuk berdiskusi untuk membahas suatu masalah dalam matematika. Kejadian yang ada di sekitar siswa akan memberi gambaran nyata dan menjadi sumber masalah bagi siswa untuk dicari penyelesaiannya didasarkan pada materi yang saat itu sedang dipelajari.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu diusahakan perbaikan pembelajaran yang sudah ada dengan mengubah paradigma mengajar menjadi paradigma belajar. Pembelajaran yang lebih memfokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi, dan aplikasi. Salah cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara mempersiapkan para calon guru khususnya di Program Studi S1 PGSD dengan model pembelajaran yang menggunakan metode yang inovatif serta mengaktifkan siswa dalam belajar. Dimana pembelajaran yang digunakan dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan dan terpusat pada siswa. Dengan adanya pembiasaan pembelajaran yang seperti ini harapannya setelah lulus mereka akan melakukan hal yang sama. Sehingga pembelajaran yang dilakukan akan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan persoalan yang ada disekitarnya yang bisa dijadikan masalah dalam proses pembelajaran. Siswa diberi kesempatan untuk memikirkan penyelsaian dari masalah itu melalui diskusi dengan teman sekelasnya. Dengan demikian akan melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan dapat menyelesaikan persoalan matematika dengan  pemikiran matematika tingkat tinggi dengan logika yang benar sesuai dengan realitas yang ada. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan dapat menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi sehingga para siswa mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari yang terkait dengan matematika yang dikemas dalam soal cerita. Salah satu metode pembelajaran matematika yang bisa digunakan adalah metode pembelajaran  matematika berbasis masalah/Problem-based learning (PBL).

Problem-based learninf  (PBL) adalah metode pembelajaran yang memusatkan pada kegiatan identifikasi, analisa, dan diskusi permasalahan dalam kelompok kecil dengan sebuah masalah sebagai stimulus dalam pembelajaran. Pembelajaran ini akan merangsang mahasiswa/siswa mengidentifikasi, mendiskusikan dan meneliti permasalahan yang diberikan dalam pembelajaran. Metode ini  sesuai dengan bagaimana seharusnya mahasiswa/siswa belajar matematika, dimana mahasiswa/siswa menggunakan pengalaman-pengalamannya untuk mengkonstruksi pengalaman baru melalui proses penyelidikan dan pemecahan masalah. Dosen/Guru hanya bertugas untuk memotivasi mahasiswa/siswa dengan memberikan persoalan-persoalan yang menarik perhatian dan membuat mahasiswa/siswa termotivasi untuk mencari solusinya (Bergeson, 2000:39; Countryman, 1992:2)

Permasalahan yang digunakan diambil dari permasalahan nyata di lingkungan sekitar dalam pembelajaran matematika sebagai stimulus untuk memunculkan pemikiran kritis mahasiswa/siswa. Pemikiran kritis akan membentuk kreativitas mahasiswa/siswa mengembangkan “keterampilan memproses” secara individu maupun kelompok untuk menumbuhkan pemikiran kritis para mahasiswa/siswa. Selain itu pembelajaran dengan metode problem-based learning akan memberikan fasiltas kepada mahasiswa/siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri maupun  bersama dalam kelompok. Kegiatan pembelajaran ini membuat mahasiswa/siswa belajar sesuai dengan minat dan perhatiannya yang mengakibatkan mahasiswa/siswa semakin termotivasi untuk belajar (Pannen, Dina Mustafa & Mestika Sekarwinahyu, 2001 : 85-86). Metoda ini dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan interaksi, mendiskusikan hal-hal yang tidak atau kurang dipahami serta berbagi peran untuk melaksanakan tugas dan saling melaporkan (Kiley, Mullins & Peterson, 1969).

Alasan utama diterapkannya Problem-based learning (PBL) dalam pelajaran matematika adalah karena adanya keunggulan-keunggulan PBL dalam pembelajaran matematika (Harsono, 2005; Pannen, Dina Mustafa & Mestika Sekarwinahyu, 2001 : 99-102) yaitu:

1.    Mahasiswa/siswa memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences) yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah yang dijumpainya,

2.    Student-centered: siswa belajar secara aktif dan mandiri (sebagai adult learner) dengan sajian materi terintegrasi (horisonal dan vertikal) dan relevan dengan real setting (profesionalism)

3.    Mahasiswa/siswa mampu berpikir kritis, mengembangkan inisiatif

4.    Terjadi perubahan paradigma pengajar sebagai fasilitator

5.    Pembelajaran berfokus pada kebermaknaan, bukan fakta (bukan sekedar menghafal tetapi menggunakan informasi untuk memecahkan masalah sehingga informasi tersebut lebih bermakna)

6.    Meningkatkan kemampuan siswa untuk berinisiatif (karena ada kesempatan untuk belajar mandiri dan kerja kelompok dan diskusi)

7.    Mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan mahasiswa/siswa baik dalam mencari informasi maupun ketrampilan menyelesaikan masalah dengan menggunakan pengetahuannya untuk mengkonstruksi pengatahuan yang baru.

8.    Pengembangan keterampilan interpersonal maupun dinamika kelompok melalui diskusi kelompok dan kerja sama kelompok

9.    Peningkatan jenjang pencapaian jenjang pembelajaran dengan adanya ketrampilan dan pengetahuan lain yang diperoleh selain pada pencapaian pemahaman materi seperti; kerja sama, kemandirian, ketrampilan berpendapat dan rasa percaya diri.

Untuk melihat dampak dari penggunaan metode Problem-based learning ini, maka perlu dilakukan penelitian tentang penerapan metode Problem-based learning dan bagaimana pengaruhnya terhadap kemampuan mahasiswa menyelesaikan soal cerita matematika dilihat dari kemampuan berpikir kritisnya.

Search site

yudhiproduction© 2010

https://wahyudiuksw.webnode.com